HAK PILIH WARGA NEGARA INDONESIA

HAK PILIH WARGA NEGARA INDONESIA


Hak pilih warga negara dalam Pemilihan Umum adalah salah satu substansi terpenting dalam perkembangan demokrasi, sebagai bukti adanya eksistensi dan kedaulatan yang dimiliki rakyat dalam pemerintahan. Pemilihan Umum sebagai lembaga sekaligus praktik politik menjadi sarana bagi perwujudan kedaulatan rakyat sekaligus sebagai sarana artikulasi kepentingan warga negara untuk menentukan wakil-wakil mereka.(1)
Pemilihan Umum menjadi implementasi atas berdirinya tonggak pemerintahan yang elemen-elemen didalamnya dibangun oleh rakyat, sebagaimana yang dinyatakan oleh Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln.(2) Lincoln menyatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Konsep ini menyimpulkan bahwa yangdibangun dalam sistem demokrasi menghasilkan suatu pandangan di mana tidak ada jalan yang paling tepat untuk menunjukkan eksistensi dan kedaulatan rakyat kecuali melalui ajang Pemilihan Umum.
General Election atau Pemilihan Umum di Indonesia adalah media rakyat untuk memberikan hak suaranya atas calon-calon anggota legislatif dan pimpinan puncak Pemerintahan (eksekutif) yakni Presiden dan Wakil Presiden melalui prosedur Pemilihan Umum yang berdasarkan pada asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia (Luber) serta Jujur dan Adil (Jurdil).(3)
Pemilihan umum adalah suatu lembaga yang berfungsi sebagai sarana penyampaian hak-hak demokrasi rakyat.Eksistensi kelembagaan pemilihan umum sudah diakui oleh negara-negara yang bersendikan asas kedaulatan rakyat.Inti persoalan pemilihan umum bersumber pada dua masalah pokok yang selalu dipersoalkan dalam praktek kehidupan ketatanegaraan, yaitu mengenai ajaran kedaulatan rakyat dan paham demokrasi, di mana demokrasi sebagai perwujudan kedaulatan rakyat serta pemilihan umum merupakan cerminan daripada demokrasi.Kegiatan pemilihan umum (general election) juga merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi warga negara yang sangat prinsipil. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi warga negara adalah keharusan bagi pemerintah untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan pemilihan umum sesuai dengan jadwal ketatanegaraan yang telah ditentukan.Sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat di mana rakyatlah yang berdaulat, maka semua aspek penyelenggaraan pemilihan umum itu sendiri pun harus juga dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya.Adalah pelanggaran terhadap hak-hak asasi apabila pemerintah tidak menjamin terselenggaranya pemilihan umum, memperlambat penyelenggaraan pemilihan umum tanpa persetujuan para wakil rakyat, ataupun tidak melakukan apa-apa sehingga pemilihan umum tidak terselenggara sebagaimana mestinya.
Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat sekaligus merupakan arena kompetisi yang paling adil bagi partai politik sejauh mana telah melaksanakan fungsi dan perannya serta pertanggungjawaban atas kinerjanya selama ini kepada rakyat yang telah memilihnya.Rakyat berdaulat untuk menentukan dan memilih sesuai aspirasinya kepada partai politik mana yang dianggap paling dipercaya dan mampu melaksakanan aspirasinya. Partai politik sebagai peserta pemilu dinilai akuntabilitasnya setiap 5 (lima) tahun oleh rakyat secara jujur dan adil, sehingga eksistensinya setiap 5 (lima) tahun diuji melalui pemilu.
Kondisi riil saat ini tentang hak pilih yang menunjukan adanya ketidaksesuaian antara harapan aturan yang ada dengan praktek, di lihat dari Demokrasi konstitusional(4) yang tumbuh dan berkembang dengan pesat di Indonesia mengharuskan adanya penyelarasan antara teori dan pengetahuan yang dimiliki oleh segenap komponen bangsa dengan bentuk-bentuk dan implementasi dari prinsip demokrasi yang ada termasuk dalam persoalan Pemilihan Umum.
Ciri Khas Demokrasi Konstitusional adalah gagasan bahwa Pemerintah yang demokratis adalah Pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan kekuasaan Pemerintah tercantum dalam konstitusi; maka dari itu sering disebut constitutional government
Penerapan prinsip ini diharapkan dapat menciptakan tatanan kehidupan ketatanegaraan yang berjalan dengan penuh keseimbangan menuju ke arah tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yakni terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kebanyakan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya dikarenakan ketidakmampuannya untuk melakukan tindakan politik dalam negara dan tentang bagaimana cara mencapai tujuan negara, karena masih memikirkan diri kebutuhan pokok masing-masing dan bagaimana kebutuhannya terpenuhi. 
Bagi pemilih pemula dengan berbekal pengalaman pertama yang dimiliki maka tidak jarang kelompok ini memberikan prospek yang menjanjikan untuk dipengaruhi oleh partai politik tertentu guna mendulang suara lebih untuk memenangkan pemilu, realita yang ada kecenderungan kelompok pemilih pemula dengan sikap acuh tak acuh masih menganggap bahwa penggunaan hak pilihnya bukanlah sesuatu yang begitu penting, terdapat kecenderungan pula mereka menggunakan hak politiknya tidak berdasarkan hati nurani melainkan berdasarkan pilihan para orang tua, teman sebaya, pasangan dan terkait erat dengan trend politik kaum muda yang indentik dengan semangat reformis.

DEFINISI HAK PILIH

Hak suara atau hak memilih adalah salah satu hak asasi manusia untuk memberdayakan warga negara dalam proses politik dan pengambilan keputusan pemerintah. Salah satu wujud penggunaan hak tersebut adalah dengan menyalurkan hak suara dalam pemilu yang bebas dan adil.
Hak untuk memilih sudah menjadi bagian dalam hukum internasional, terdapat dalam deklarasi hak asasi universal, perjanjian internasional dan ratifikasi di tingkat regional. Hak untuk memilih dan hak partisipasi publik dalam pemerintahan dinyatakan dalam Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang telah diterjemahkan dalam bahasa indonesia sebagai berikut:
(G.A. Res. 217A(III), U.N. Doc. A/810 (1948) (hereinafter UDHR).
1) Setiap orang berhak untuk ambil bagian dalam pemerintahan di negaranya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
2)  Setiap orang berhak mendapat akses yang setara dalam pelayanan publik di negara masing-masing.
3) Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan berkala dan murni dengan hak pilih setara dan universal, diselenggarakan secara rahasia dalam pemungutan suara yang bebas dan sama.

Selain dokumen di atas, perlindungan terhadap seseorang juga terdapat pada sejumlah perjanjian internasional yaitu ICESCR dan ICCPR.(5) Antara lain, Artikel 25 point 11 menyatakan tentang hak partisipasi dalam pemerintahan, hak suara, dan hak kesetaraan akses dalam pelayanan publik yang telah diterjemahkan dalam bahasa indonesia sebagai berikut:
Setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan, tanpa perbedaan sebutan dalam artikel 2 dan tanpa pembatasan yang tak beralasan untuk:
1)   Ikut ambil bagian dalam pengaturan urusan publik, secara langsung atau wakil-wakil yang dipilih secara bebas;
2)   Memilih dan dipilih pada pemilihan umum yang murni dan berkala, dengan hak pilih setara dan universal, diselenggarakan secara rahasia, menjamin kebebasan para pemilih dalam menyatakan kehendaknya;
3)   Mendapat akses yang setara secara umum terhadap pelayanan publik di negaranya.

Perlindungan hak pemilih dapat dilihat dari berbagai produk hukum mulai dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, TAP MPR, dan Undang-Undang. Ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur mulai Pasal 28A sampai Pasal 28J ditambah dengan beberapa ketentuan lainnya yang tersebar di beberapa Pasal lain dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. TAP MPR Tentang HAM, Undang-Undang Pers, Undang-Undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat, Undang-Undang HAM Nomor 39 Tahun 1999, Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Parpol, Undang-Undang Susduk MPR, DPR dan DPRD, Undang-Undang Otonomi Daerah, Undang-Undang Ratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi Rasial Dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008.(6)
Bagaimanapun juga, tiap negara demokratis, memberi batasan terhadap siapa yang dapat memilih.(7) Beberapa konstitusi menggambarkan siapa saja yang dianggap tidak memenuhi syarat untuk memilih (seperti belum cukup umur, ada gangguan mental, menjadi tahanan). Hak pemilih perlu dilindungi agar mereka dapat secara langsung menggunakannya dalam pemilu. Karena itu, kerangka hukum harus dapat memastikan semua warga negara yang memenuhi syarat dijamin berhak memberikan suara secara universal dan adil, serta berhak ikut dalam pemilihan tanpa diskriminasi. Selama ini hal-hal yang diatur  dalam regulasi adalah; penjaminan hak bagi semua warga negara yang memenuhi syarat secara universal dan sama, hak memberikan suara dijalankan dengan perlakuan yang sama di hadapan  hukum dan tidak ada pembatasan atau pengekangan hak dalam memberikan suara.
Perlindungan terhadap hak pemilih akan mendorong meningkatnya partisipasi pemilih, dengan demikian, akan tumbuh kepercayaan yang lebih besar terhadap pemilu, sehingga menambah legitimasi pemenang pemilu. Perlindungan hak pemilih dapat dilakukan melalui sistem pendaftaran pemilih yang teransparan dan akurat. Jelas ini bukan hal yang mudah karena memerlukan keterkaitan antara satu sama lain antara negara, partai politik, dan masyarakat.
Menurut IDEA,(8) ada 3 hal yang perlu diperhatikan bagi perlindungan hak untuk memilih.
1.    Hak memberikan suara yag bersifat universal dan sama.
2.    Tanpa diskriminasi
Diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, paham politik atau pendapat, perkumpulan dengan minoritas nasional, kekayaan, kelahiran atau status lainnya tidak diperkenankan mencabut hak warga negara yang memenuhi syarat untuk memberikan suara atau bersaing dalam pemilu
3.    Pemeriksaan terhadap pembatasan atas hak memberikan suara

Kerangka hukum harus secara jelas menyatakan keadaan-keadaan yang bisa menjadi dasar pembatasan atau penangguhan hak seseorang untuk memberikan suara, dengan cara apa dan sejauh mana.
Di Indonesia dikenal ada dua hak pilih,(9) yaitu:
1.    Hak pilih aktif atau sering dikenal sebagai hak untuk memilih
2.    Hak pilih pasif yaitu hak untuk dipilih.

Dengan demikian, sabagai salah satu nilai demokrasi dalam pemilu ditandai dengan terwujudnya perpindahan kekuasaan negara secara damai dan demokratis.
Mengapa menggunakan hak pilih menjadi begitu penting bagi pemerintah? Sebabnya tidak lain adalah bahwa keterlibatan dalam pemilu merupakan salah satu tolok ukur bagi legitimasinya. Persentase pemilih menjadi sangat penting karena itu berarti menunjukan tingkat penerimaan rakyat terhadap pemerintah. Menjadi wajar pula, kendati tidak memilih belum pernah dinyatakan terlarang, tetapi dalam wacana politik orde baru dianggap sebagai jenis pembangkangan karena dapat mengikis legitimasinya.
Konferensi Internasional Tentang Hak Asasi Manusia International Commission of Jurist, Bangkok Tahun 1965, dirumuskan bahwa “penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas merupakan salah satu syarat dari enam syarat dasar bagi negara demokrasi perwakilan di bawah “rule of law”. Selanjutnya juga dirumuskan definisi tentang suatu pemerintahan demokrasi berdasarkan perwakilan, yaitu: suatu bentuk pemerintahan dimana warga negara melaksanakan hak yang sama tetapi melalui wakil-wakil yang dipilih dan bertanggung jawab kepada mereka melalui proses pemilihan-pemilihan yang bebas.Sehingga hakikat pemilu sesungguhnya adalah instrumen demokrasi.Sebagai alat demokrasi, pemilu berusaha mendekati obsesi demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.
Hak untuk memilih sudah menjadi bagian dalam hukum internasional, terdapat dalam deklarasi hak asasi universal, perjanjian internasional dan ratifikasi di tingkat regional. Hak untuk memilih dan hak partisipasi publik dalam pemerintahan dinyatakan dalam Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
(G. A. Res. 217A(III), U.N. Doc. A/810 (1948) [hereinafter UDHR].
1)  Setiap orang berhak untuk ambil bagian dalam pemerintahan di negaranya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
2) Setiap orang berhak mendapat akses yang setara dalam pelayanan publik di negaranya masing-masing.
3) Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan yang berkala dan murni dengan hak pilih setara dan universal, diselenggarakan secara rahasia dalam pemungutan suara yang bebas dan sama.

Selain dokumen di atas, perlindungan terhadap hak seseorang juga terdapat pada sejumlah perjanjian internasional yaitu ICESCR dan ICCPR(10). Antara lain, Artikel 25 point 11 menyatakan tentang hak partisipasi dalam pemerintahan, hak suara, dan hak kesetaraan akses dalam pelayanan publik yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
Setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan, tanpa perbedaan sebutan dalam artikel 2 dan tanpa pembatasan yang tak beralasan untuk:
a)  Ikut ambil bagian dalam pengaturan urusan publik, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas;
b)   Memilih dan dipilih pada pemilihan umum yang murni dan berkala, dengan hak pilih setara dan universal, diselenggarakan secara rahasia, menjamin kebebasan para pemilih dalam menyatakan kehendaknya;
c)    Mendapat akses yang setara secara umum terhadap pelayanan publik di negaranya.

Hak untuk memilih juga dilindungi oleh beberapa instrument hak asasi manusia di tingkat regional dan masing-masing negara, misalnya di Afrika dengan ACHPR, di Amerika dengan ACHR, dan di Eropa dengan ECHR.
Hak Pilih Warga Negara Dalam Penegakkan Prinsip Kedaulatan Rakyat di Negara Indonesia dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Maunusia, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifkasi Kovensi Hak Sipil, negara, terutama pemerintah, mempunyai kewajiban secara konstitusional dalam pemenuhan hak asasi manusia, sebagaimana secara tegas dimandatkan di dalam Pasal 281 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: “Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah taggung jawab negara, terutama pemerintah”;
Kewajiban tersebut selanjutnya dipertegas lagi di dalam pasal 71 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia: “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia.”
Dalam tataran hukum internasional yang sudah diterima oleh Indonesia melalui ratifikasi, kewajiban negara dalam pemenuhan hak sipil dan politik antara lain disebutkan di dalam Kovensi Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, ICCPR, yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik. Adapun hak-hak sipil yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilu dijamin dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik seperti yang tercantum dalam Pasal 12, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 20, Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 dengan isi seperti tercantum dalam uraian berikut:
1.    Pasal 12:
Hak atas kebebasan bergerak dan berdomisili (termasuk meninggalkan dan kembali ke negeri sendiri);
2.    Pasal 16:
Hak sebagai subjek hukum (hak perdata setiap orang seperti kewarganegaraan);
3.    Pasal 18:
Hak atas kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan (menganut ideologi atau orientasi politik, memeluk agama dan kepercayaan);
4.    Pasal 20:
Hak untuk bebas dari propaganda perang dan hasutan rasial (kebencian atas dasar kebangsaan, ras, agama atau golongan);
5.    Pasal 25:
Hak untuk berpatisipasi dalam politik (termasuk memilih, dipilih dan tidak memilih);
6.    Pasal 26:
Hak untuk bebas dari diskriminasi dalam hukum (semua orang dilindungi hukum tanpa diskriminasi);
7.    Pasal 27:
Hak kelompok minoritas (perlu mendapatkan perlindungan khusus);

Prinsip hak asasi manusia yang berlaku secara universal menjamin pemenuhan  hak sipil politik. Pasal 21 DUHAM menyatakan, bahwa pihak negara harus menjamin hak berpatisipasi dalam pemerintahan dan pemilu serta hak atas pelayanan umum; Setiap warga negara Indonesia dijamin haknya untuk ikut berpatisipasi secara politik.Meski tak cukup gamblang, tetapi konstitusi menjamin hak seseorang untuk ikut dalam memperjuangkan haknya baik dengan memilih ataupun memajukan diri sendiri. Hal ini tercantum dalam Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangunkan masyarakat, bangsa, dan negaranya”;
Lebih jelasnya, jaminan atas hak untuk turut serta dalam pemerintahan dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang ini menyatakan; “Setiap warga Negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Sedangkan jaminan atas hak untuk dipilih secara gamblang tercantum dalam Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; “Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya, dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan”. Dalam ayat (3) juga disebutkan; “Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintah”.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik juga menjamin pemenuhan hak sipil dan politik warga negara. Pasal 25 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik mengatakan bahwa hak yang dijamin oleh negara adalah hak untuk berpatisipasi dalam politik, termasuk memilih, dipilih dan tidak memilih. 
Salah satu landmark decision Mahkamah Konstitusi (MK) dalam konteks pengawalan demokrasi yaitu Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 bertanggal 6 Juli 2009 yang menerobos kebuntuan hukum Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terkait dengan permasalahan calon pemilih yang tidak terdaftar di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)Persidangan dalam perkara ini merupakan yang tercepat dalam pengambilan putusannya sepanjang sejarah berdirinya MK. Sidang pertama dibuka pada hari Senin, 6 Juli 2009 Pukul 10.00 WIB untuk dilakukan pemeriksaan selama kurang lebih 30 menit. Kemudian pada hari yang sama pada Pukul 17.00 WIB, Majelis Hakim langsung membacakan Putusan akhirnya. Putusan progresif ini menjadi penting maknanya karena dianggap oleh banyak pihak mampu mencegah terjadinya degradasi proses demokrasi karena adanya desakan pengunduran waktu Pemilu serta terbukanya kemungkinan pengunduran diri dua dari tiga pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden karena merasa tidak puas terhadap tindakan yang dilakukan oleh KPU menghadapi karut-marutnya penyusunan DPT yang diklaim oleh kedua pasangan tersebut sangat berpotensi merugikan perolehan suaranya.(11) Dengan merujuk Putusan Nomor011-017/PUU-I/2003 bertanggal 24 Februari 2004, MK menegaskan bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (rights to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, dan konvensi internasional, sehingga pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara. Hal tersebut secara tegas menurut MK telah dijamin dalam Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan Pasal 28I Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal tersebut juga sejalan dengan Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 25 Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Pemilu yang mengharuskan masyarakat pemilih menggunakan hak suaranya, sebenarnya hanya melembagakan dukungan masyarakat. Pemilihan umum yang demikian dapat dikatakan memihak lebih kepada kepentingan penguasa daripada kepentigan masyarakat dan menjadi sarana partisipasi politik yang tidak utuh. Sebab kalau benar-benar ingin menjalankan prinsip demokratis secara konsekuen seharusnya pemilihan umum lebih diorientasikan kepada kepentingan partisipasi aktif masyarakat yang membuka peluang yang sama untuk dukungan dan protes masyarakat, pemilihan umum yang demikian akan menjadi sarana partisipasi politik masyarakat yang utuh, yang melembagakan sekaligus dukungan dan protes masyarakat.
Sikap protes masyarakat dalam kehidupan demokrasi di indonesia disebut Golongan putih (golput) muncul pertama kali tahun 1971 menjelang pemilu yang dilahirkan oleh generasi muda eksponen angkatan 66, yang dimotori antara lain, Adnan Buyung Nasution SH, Arief Budiman, Marsilam Simanjuntak, Asmara Nababan, Imam Waluyo, Julius Usman, dan Husein Umar.(12)
Golput bukanlah sebuah organisasi. Golput tidak melakukan gerakan-gerakan di luar hukum, karna salah satu tujuan dari gerakan ini adalah menguatkan ketaatan pada hukum.
Dia melakukan protes dalam batasan-batasan hukum yang ada, gerakan ini merupakan gerakan kultural, dalam arti yang diperjuangkan bukanlah kekuasaan kritik melainkan suatu transisi masyarakat di mana hak asasi selalu terlindungi dari kekuasaan sewenang-wenang.(13)
Pada umumnya orang mengartikan golput sebagai tindakan orang yang secara sengaja dan sadar untuk tidak ikut mencoblos dalam pemilihan umum karena alasan tidak percaya dan tidak punya calon (pilihan) yang disukai,(14) atau membuat pilihan dengan tetap menggunakan hak pilih tapi yang dicoblos adalah bukan gambar, tetapi bagian lain atau putihnya, artinya tidak melawan pemilu secara total tetapi membatalkan suaranya sendiri.(15)
Bagi para pendukung Golput bisa merefleksikan banyak pesan. Oleh karena itu, pemahaman prilaku Golput haruslah kontekstual. Artinya, menjelaskan prilaku tidak bisa hanya didasarkan pada interpretasi sepihak para teoretis, ilmuwan, akademisi atau bahkan peneliti, tetapi harus didasarkan pada pemahaman dan kesadaran para pendukung Golput itu sendiri: pesan apa yang hendak disampaikan kepada publik atas pilihan politiknya untuk tidak memilih.(16)
Karenanya menghadapi fenomena Golput yang terjadi lebih disebabkan oleh faktor kekecewaan publik terhadap kinerja partai politik dan pemerintah yang belum efektif, maka menjadi pembelajaran bagi partai politik dan pemerintah untuk meningkatkan kinerjanya sebagai mesin kerja demokrasi yang efektif dan memiliki komitmen yang kuat, mewujudkan good public governance. Ketidakmampuan partai politik dan pemerintah menampilkan kinerja tersebut, maka fenomena Golput akan mengkristal menjadi faktor internal demokrasi yang potensial menimbulkan pembusukan demokrasi atau pembusukan politik (political decay), sehingga akan berimplikasi melumpuhkan demokrasi, dimana partai politik sebagai mesin pebangkit partisipasi politik dalam demokrasi secara moral ikut bertanggungjawab.
Dalam mindset Golput, demokrasi di Indonesia saat ini lebih dimaknai oleh publik, yaitu baru sebatas kebebasan untuk mengkritik Pemerintah dan mengganti pemerintahan melalui Pemilu secara reguler, dan belum menyentuh substansi pembangunan demokrasi di bidang politik, ekonomi, dan sosial.
Fenomena tersebut, kiranya perlu mendapatkan apresiasi dan solusi oleh para aktor-aktor pemerintahan (Penyelenggara Negara) menghadapi Pemilu tahun ke tahun agar pesta demokrasi lebih efisien dan berkualitas secara sistemik, baik dalam tataran input, process, dan output, dan malah bukan bersifat kontra produktif dalam berdemokrasi. Dalam arti proses demokrasi malah menurunkan tingkat partisipasi politik pemilih di satu sisi, dan di sisi lain malah makin meningkatnya jumlah Golput yang berimplikasi negatif bagi pembangunan kualitas demokrasi.
Dengan minimal empat faktor di mana orang enggan untuk aktif berperan dalam pemilu menurut Syamsuddin Haris:
1.    Kekecewaan sebagian publik terhadap parpol;
2.    Parpol sebagian kaya akibat money politik;
3.    KPU dan pengawas di daerah minim melibatkan civil society;
4.    Sistem pemilu yang rumit.

Keputusan seseorang untuk menjadi golput pada dasarnya diambil setelah mengkaji berbagai alasan yang ada. Bagi masyarakat, buat apa memilih jika parpol tidak memberikan kepuasan. Dan, buat apa menyalurkan hak pilih bila pemilu dinilai tidak bermakna bagi mereka. Artinya, kekuatan politik di DPR tidak bisa mewakili aspirasi mereka. Alasan ini seharusnya dapat dijadikan suatu pemikiran oleh wakil rakyat atau elite politik agar ke depan tidak mengecewakan rakyat. Masalahnya adalah bagaimana para elite politik negeri ini mampu meyakinkan masyarakat bahwa lembaga perwakilan rakyat bisa berperan secara jujur dan wajar dalam upaya menyuarakan kepentingan rakyat.(17)

Konteks Golput dalam perspektif pembangunan demokrasi di Indonesia tersebut diatas, dapat diintisarikan sebagai berikut:
1) Partisipasi politik merupakan salah satu tujuan pembangunan, termasukpembangunan demokrasi (pembangunan politik) agar sistem politik dapat berjalan secara efektif.
2)  Partisipasi politik juga menjadi indikator utama bagi tingkat keberhasilan penyelenggaraan Pemilu yang demokratis dalam Negara demokrasi modern.
3)     Seiring dengan sikap partisipatif pemilih yang menggunakan hak pilihnya, sikap Golput yang tidak partisipatif dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemungutan suara, juga menjadi indikator tingkat keberhasilan Pemilu yang demokratis.
4)    Fenomena golput muncul antara lain karena faktor politik dan sosial ekonomi, seperti kekecewaan politik dan sosial ekonomi terhadap hasil Pemilu yang belum mampu mewujudkan perilaku kehidupan politik yang berkualitas dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
5)    Golput yang eskalatif dan signifikan secara potensial merupakan ancaman bagi proses demokratisasi, yang jika tidak mampu diatasi dengan kinerja Pemerintah yang amanah berbasis good public government dan keteladanan sikap serta perilaku yang bermartabat, dapat berimplikasi negatif melumpuhkan demokrasi.(18)

Golput terdiri atas dua genre: golput politis dan golput teknis. Terhadap mereka yang golput karena pilihan politik, karena menganggap pemilu tidak berguna, hanya memboroskan anggaran negara, sekadar sarana bagi partai politik dan calon legislator untuk menyampaikan janji-janji kosong yang langsung dilupakan ketika telah melenggang ke kursi parlemen. Di negeri ini, menggunakan hak memilih (casting vote) masih dikonstruksikan sebagai sekadar hak, belum menjadi kewajiban sebagaimana halnya di Australia. Namun, bagi yang golput karena soal teknis administratif, yaitu tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), soal ini harus dicari akar masalah dan solusinya.



PRINSIP KEDAULATAN NEGARA

Kedaulatan rakyat lahir sebagai reaksi atas kedaulatan raja yang menghasilkan tirani dan kesengsaraan bagi rakyat. Menurut Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social:
“Manusia itu lahir bebas dan sederajat dalam hak-haknya, sedangkan hukum merupakan ekspresi dan kehendak umum (rakyat)”munculnya negara bukanlah berdiri sendiri, melainkan karena adanya kemauan bersama dari rakyat untuk membentuk suatu negara tanpa ada paksaan. Posisi rakyat benar-benar dihargai sehingga kekuasaan legislatif harus berada di tangan rakyat dan kekuasaan eksekutif bergantung pada kemauan bersama atau rakyat.(19) Tiap individu mempunyai fungsi, sebagai anggota dari rakyat berdaulat ia berkewajiban terhadap semua anggota dan kedaulatan secara keseluruhan.
Dengan kata lain, kedaulatan bisa tumbuh jika dalam suatu negara rakyat memainkan peran aktif. Kekuasaan rakyat sebagai yang tertinggi, dalam hal ini diwujudkan melalui lembaga perwakilan, melalui suara terbanyak. Sebab menurut Rousseau, keputusan dari suara terbanyak (mayoritas) selalu mewakili kepentingan umum.(20)
Salah satu peran aktif rakyat yang menjadi perwujudan kedaulatan rakyat itu adalah jika rakyat aktif dalam pemilu. Sebagai salah satu hak universal yang diakui, hak untuk memilih dan dipilih (hak aktif, dan hak pasif) sudah merupakan dokumen internasional. Ini terjadi sejak pertengahan abad ke-20 dan berlangsung terus sampai kini. Deklarasi tersebut menimbulkan implikasi, salah satunya adalah rakyat harus menjadi dasar bagi kekuasaan pemerintah. Dalam negara demokratis, pemilu secara berkala adalah cara paling penting dan menunjukan legitimasi bagi pemegang kekuasaan. Kehendak tersebut diwujudkan melaui pemilu secara berkala dengan hak pilih yang universal dan sama, diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu yang netral.
Setelah terjadi amandemen konstitusi, maka kini kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Apa dan siapakah yang dimaksud dengan rakyat yang berdaulat itu? Secara nominal sebagaimana yang dimaksud dalam konstitusi, rakyat berdaulat adalah setiap warga negara, mulai dari bayi sampai kakek/ nenek apapun latar belakang suku, agama, jenis kelamin, dan kondisi fisik. Namun, dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemilu, pengertian rakyat berdaulat dibatasi pada warga negara yang berhak memilih.
Secara rinci, warga negara yang berhak memilih di indonesia adalah; Warga Negara Indonesia, sudah berusia 17 tahun, atau, sudah pernah kawin, tidak hilang ingatan, dan hak pilihnya tidak sedang dicabut oleh pengadilan. Persyaratan umur untuk berhak memilih pada masing-masing negara bervariasi mulai umur 17-21 tahun. Hak pilih yang ada pada individu tidak dapat dikurangi atau dipindahkan pada individu lain. Pada hak pilih inilah terkait mutu demokrasi. Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar pemilu diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Jadi kesimpulannya sebagaimana analistis yang telah diuraikan bahwa Hak Pilih Warga Negara Indonesia sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan berdasarkan hirearkinya masing-masing antara lain: UUD RI 1945, UU, Putusan Mahkamah Konstitusi dan Peraturan KPU.

SUMBER

1. Syamsuddin Haris dkk, 1998,Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta:
    (Yayasan Obor Indonesia), hal. 49.

2. Saripudin Bebyl, 2003, Tata Negara,Bandung: (Gramedia Pustaka Utama), hal. 32.

3. Saripudin Bebyl, 2003, Tata Negara,Bandung: (Gramedia Pustaka Utama), hal. 136.

4. Miriam Budiardjo,2002,Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: (PT Gramedia Pustaka
    Utama, Cetakan kedua puluh dua), hal. 52.

5. KOMNAS HAM, 2009, Laporan Tim Penyelidikan Pemenuhan Hak Sipil dan Hak
    Politik Dalam Pemilu LegislatifBeetham, David, 1999, Democracy and Human
    Rights,London:Polity Press.

6. KOMNAS HAM, 2009,Laporan Tim Penyelidikan Pemenuhan Hak Sipil dan Hak
   Politik Dalam Pemilu Legislatif

7.Suaib Eka. 2010. Problematika Pemutakhiran Data Pemilih Di Indonesia.Katz 1997.
    Depok: Koekoesan

8. IDEA, 2002, Standar –standar Internasional Untuk Pemilihan Umum Pedoman
    Peninjauan Kembali Kerangka Hukum PemiluSeri Buku Panduan.

9. Suaib, Eka, 2010, Problematika Pemutakhiran Data Pemilih Di
    IndonesiaDepo,Koekoesan, hal. 20.

10. Komnas HAM, 2009; Beetham, 1999.

11. "MK Putuskan Pasal DPT Pemilihan Presiden Sore Ini”, Senin, 6 Juli
        2009,http://www.tempointeraktif.com/hg/Pemilu2009_presiden/2009/07/06/brk,20090706185409.id.html
        diaksespadatanggal 6 Desember 2009.

12. Peter Lewuk & M. Abriyanto, 1992. Aneka Pandangan Fenomena Politik, Cetakan I,
      Pustaka Sinar Harapan.

13. Arbi Sanit, 1992, Golongan Putih Sebagai Gerakan Protes, Dalam Pengantar Buku          Aneka Pandangan Fenomena Politik, Cetakan I, Pustaka Sinar Harapan.

14. Muntoha, Dalam Seminar 2009 Menyikapi Fatwa Haram Golput: Urgensi
     Memperkuat Fatwa MUI”, yang diselenggarakan oleh Keluarga Muslim Fakultas Hukum
     (KMFH)-UGM, pada hari: Kamis, 14 Mei.

15. Muntoha, Dalam Seminar 2009 Menyikapi Fatwa Haram Golput: Urgensi
     Memperkuat Fatwa MUI”, yang diselenggarakan oleh Keluarga Muslim Fakultas Hukum
     (KMFH)-UGM, pada hari: Kamis, 14 Mei.

16. Protes Terhadap System Politik, Muhammad Asfar, Dalam Buku Presiden Golput”,
      Surabaya: Jawa Pos Press, hlm.127.

17. Haris Syamsuddin, 2004, Dalam Pengantar Seri Diskusi Publik Propatria, Tanggal 4
      Februari, Jakarta

18. H. Soebagio, 2008Implikasi Golongan Putih Dalam Perspektif  Pembangunan
     Demokrasi Di Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas Islam Syekh Yusuf,
     Tangerang 15118, Indonesia, Makara, Sosial Humaniora, Vol. 12, No. 2, Desember
     2008: 82-86.

19. Noer, Deliar, 1982,  Pemikiran Politik di Negeri Barat,Jakarta: Mizan.

20. Noer, Deliar, 1982, Pemikiran Politik di Negeri Barat,Jakarta: Mizan.

Komentar