HAK PILIH WARGA NEGARA INDONESIA
Hak pilih warga negara dalam Pemilihan Umum adalah
salah satu substansi terpenting dalam perkembangan demokrasi, sebagai bukti
adanya eksistensi dan kedaulatan yang dimiliki rakyat dalam pemerintahan.
Pemilihan Umum sebagai lembaga sekaligus praktik politik menjadi sarana bagi
perwujudan kedaulatan rakyat sekaligus sebagai sarana artikulasi kepentingan
warga negara untuk menentukan wakil-wakil mereka.(1)
Pemilihan
Umum menjadi implementasi atas berdirinya tonggak pemerintahan yang
elemen-elemen didalamnya dibangun oleh rakyat, sebagaimana yang dinyatakan oleh Presiden Amerika Serikat Abraham
Lincoln.(2) Lincoln menyatakan bahwa
demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Konsep
ini menyimpulkan bahwa yangdibangun dalam sistem demokrasi menghasilkan suatu
pandangan di mana tidak ada jalan yang paling tepat untuk menunjukkan
eksistensi dan kedaulatan rakyat kecuali melalui ajang Pemilihan Umum.
General Election atau Pemilihan Umum di Indonesia adalah media rakyat untuk memberikan
hak suaranya atas calon-calon anggota legislatif dan pimpinan puncak
Pemerintahan (eksekutif) yakni Presiden dan Wakil Presiden melalui prosedur
Pemilihan Umum yang berdasarkan pada asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia
(Luber) serta Jujur dan Adil (Jurdil).(3)
Pemilihan umum adalah suatu lembaga yang
berfungsi sebagai sarana penyampaian hak-hak demokrasi rakyat.Eksistensi
kelembagaan pemilihan umum sudah diakui oleh negara-negara yang bersendikan
asas kedaulatan rakyat.Inti persoalan pemilihan umum bersumber pada dua masalah
pokok yang selalu dipersoalkan dalam praktek kehidupan ketatanegaraan, yaitu
mengenai ajaran kedaulatan rakyat dan paham demokrasi, di mana demokrasi
sebagai perwujudan kedaulatan rakyat serta pemilihan umum merupakan cerminan
daripada demokrasi.Kegiatan pemilihan umum (general election) juga
merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi warga negara yang sangat
prinsipil. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi warga negara
adalah keharusan bagi pemerintah untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan
pemilihan umum sesuai dengan jadwal ketatanegaraan yang telah ditentukan.Sesuai
dengan prinsip kedaulatan rakyat di mana rakyatlah yang berdaulat, maka semua
aspek penyelenggaraan pemilihan umum itu sendiri pun harus juga dikembalikan
kepada rakyat untuk menentukannya.Adalah pelanggaran terhadap hak-hak asasi
apabila pemerintah tidak menjamin terselenggaranya pemilihan umum, memperlambat
penyelenggaraan pemilihan umum tanpa persetujuan para wakil rakyat, ataupun
tidak melakukan apa-apa sehingga pemilihan umum tidak terselenggara sebagaimana
mestinya.
Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan
rakyat sekaligus merupakan arena kompetisi yang paling adil bagi partai politik
sejauh mana telah melaksanakan fungsi dan perannya serta pertanggungjawaban
atas kinerjanya selama ini kepada rakyat yang telah memilihnya.Rakyat berdaulat
untuk menentukan dan memilih sesuai aspirasinya kepada partai politik mana yang
dianggap paling dipercaya dan mampu melaksakanan aspirasinya. Partai politik
sebagai peserta pemilu dinilai akuntabilitasnya setiap 5 (lima) tahun oleh
rakyat secara jujur dan adil, sehingga eksistensinya setiap 5 (lima) tahun
diuji melalui pemilu.
Kondisi riil saat ini tentang hak pilih yang
menunjukan adanya ketidaksesuaian antara harapan aturan yang ada dengan
praktek, di lihat dari Demokrasi
konstitusional(4) yang
tumbuh dan berkembang dengan pesat di Indonesia mengharuskan adanya
penyelarasan antara teori dan pengetahuan yang dimiliki oleh segenap komponen
bangsa dengan bentuk-bentuk dan implementasi dari prinsip demokrasi yang ada
termasuk dalam persoalan Pemilihan Umum.
Ciri Khas Demokrasi
Konstitusional adalah gagasan bahwa Pemerintah yang demokratis adalah
Pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak
sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan kekuasaan Pemerintah
tercantum dalam konstitusi; maka dari itu sering disebut constitutional
government
Penerapan
prinsip ini diharapkan dapat menciptakan tatanan kehidupan ketatanegaraan yang
berjalan dengan penuh keseimbangan menuju ke arah tujuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yakni terciptanya masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kebanyakan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya dikarenakan ketidakmampuannya untuk melakukan tindakan politik dalam negara dan tentang bagaimana cara mencapai tujuan negara, karena masih memikirkan diri kebutuhan pokok
masing-masing dan bagaimana kebutuhannya terpenuhi.
Bagi pemilih pemula dengan berbekal pengalaman pertama yang dimiliki maka tidak jarang kelompok ini memberikan prospek yang menjanjikan untuk dipengaruhi oleh partai politik tertentu guna mendulang suara lebih untuk memenangkan pemilu, realita yang ada kecenderungan kelompok pemilih pemula dengan sikap acuh tak acuh masih menganggap bahwa penggunaan hak pilihnya bukanlah sesuatu yang begitu penting, terdapat kecenderungan pula mereka menggunakan hak politiknya tidak berdasarkan hati nurani melainkan berdasarkan pilihan para orang tua, teman sebaya, pasangan dan terkait erat dengan trend politik kaum muda yang indentik dengan semangat reformis.
Bagi pemilih pemula dengan berbekal pengalaman pertama yang dimiliki maka tidak jarang kelompok ini memberikan prospek yang menjanjikan untuk dipengaruhi oleh partai politik tertentu guna mendulang suara lebih untuk memenangkan pemilu, realita yang ada kecenderungan kelompok pemilih pemula dengan sikap acuh tak acuh masih menganggap bahwa penggunaan hak pilihnya bukanlah sesuatu yang begitu penting, terdapat kecenderungan pula mereka menggunakan hak politiknya tidak berdasarkan hati nurani melainkan berdasarkan pilihan para orang tua, teman sebaya, pasangan dan terkait erat dengan trend politik kaum muda yang indentik dengan semangat reformis.
DEFINISI HAK PILIH
Hak suara atau hak memilih adalah salah satu hak
asasi manusia untuk memberdayakan warga negara dalam proses politik dan
pengambilan keputusan pemerintah. Salah satu wujud penggunaan hak tersebut
adalah dengan menyalurkan hak suara dalam pemilu yang bebas dan adil.
Hak untuk memilih sudah menjadi bagian dalam hukum
internasional, terdapat dalam deklarasi hak asasi universal, perjanjian
internasional dan ratifikasi di tingkat regional. Hak untuk memilih dan hak
partisipasi publik dalam pemerintahan dinyatakan dalam Pasal 21 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia yang telah diterjemahkan dalam bahasa indonesia
sebagai berikut:
(G.A. Res. 217A(III), U.N. Doc. A/810
(1948) (hereinafter UDHR).
1) Setiap orang berhak untuk ambil bagian
dalam pemerintahan di negaranya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang
dipilih dengan bebas.
2) Setiap orang berhak mendapat akses yang
setara dalam pelayanan publik di negara masing-masing.
3) Kehendak rakyat harus menjadi dasar
kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan berkala dan
murni dengan hak pilih setara dan universal, diselenggarakan secara rahasia
dalam pemungutan suara yang bebas dan sama.
Selain dokumen di atas, perlindungan terhadap
seseorang juga terdapat pada sejumlah perjanjian internasional yaitu ICESCR dan ICCPR.(5) Antara
lain, Artikel 25 point 11 menyatakan tentang hak partisipasi dalam
pemerintahan, hak suara, dan hak kesetaraan akses dalam pelayanan publik yang
telah diterjemahkan dalam bahasa indonesia sebagai berikut:
Setiap warga negara mempunyai hak dan
kesempatan, tanpa perbedaan sebutan dalam artikel 2 dan tanpa pembatasan yang
tak beralasan untuk:
1)
Ikut ambil bagian dalam pengaturan urusan
publik, secara langsung atau wakil-wakil yang dipilih secara bebas;
2)
Memilih dan dipilih pada pemilihan umum
yang murni dan berkala, dengan hak pilih setara dan universal, diselenggarakan
secara rahasia, menjamin kebebasan para pemilih dalam menyatakan kehendaknya;
3)
Mendapat akses yang setara secara umum
terhadap pelayanan publik di negaranya.
Perlindungan hak pemilih dapat dilihat dari
berbagai produk hukum mulai dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, TAP MPR, dan Undang-Undang. Ketentuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 diatur mulai Pasal 28A sampai Pasal 28J ditambah
dengan beberapa ketentuan lainnya yang tersebar di beberapa Pasal lain dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. TAP MPR Tentang HAM,
Undang-Undang Pers, Undang-Undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat,
Undang-Undang HAM Nomor 39 Tahun 1999, Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang
Parpol, Undang-Undang Susduk MPR, DPR dan DPRD, Undang-Undang Otonomi Daerah,
Undang-Undang Ratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi Rasial Dan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2008.(6)
Bagaimanapun juga, tiap negara demokratis, memberi
batasan terhadap siapa yang dapat memilih.(7) Beberapa konstitusi
menggambarkan siapa saja yang dianggap tidak memenuhi syarat untuk memilih (seperti
belum cukup umur, ada gangguan mental, menjadi tahanan). Hak pemilih perlu
dilindungi agar mereka dapat secara langsung menggunakannya dalam pemilu.
Karena itu, kerangka hukum harus dapat memastikan semua warga negara yang
memenuhi syarat dijamin berhak memberikan suara secara universal dan adil,
serta berhak ikut dalam pemilihan tanpa diskriminasi. Selama ini hal-hal yang
diatur dalam regulasi adalah; penjaminan
hak bagi semua warga negara yang memenuhi syarat secara universal dan sama, hak
memberikan suara dijalankan dengan perlakuan yang sama di hadapan hukum dan tidak ada pembatasan atau
pengekangan hak dalam memberikan suara.
Perlindungan terhadap hak pemilih akan mendorong
meningkatnya partisipasi pemilih, dengan demikian, akan tumbuh kepercayaan yang
lebih besar terhadap pemilu, sehingga menambah legitimasi pemenang pemilu.
Perlindungan hak pemilih dapat dilakukan melalui sistem pendaftaran pemilih
yang teransparan dan akurat. Jelas ini bukan hal yang mudah karena memerlukan
keterkaitan antara satu sama lain antara negara, partai politik, dan
masyarakat.
Menurut IDEA,(8) ada 3 hal yang perlu
diperhatikan bagi perlindungan hak untuk memilih.
1. Hak memberikan suara yag bersifat universal
dan sama.
2. Tanpa diskriminasi
Diskriminasi
berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, paham politik atau
pendapat, perkumpulan dengan minoritas nasional, kekayaan, kelahiran atau
status lainnya tidak diperkenankan mencabut hak warga negara yang memenuhi
syarat untuk memberikan suara atau bersaing dalam pemilu
3. Pemeriksaan terhadap pembatasan atas hak
memberikan suara
Kerangka hukum harus secara jelas menyatakan keadaan-keadaan yang bisa
menjadi dasar pembatasan atau penangguhan hak seseorang untuk memberikan suara,
dengan cara apa dan sejauh mana.
Di Indonesia dikenal ada dua hak pilih,(9) yaitu:
1. Hak pilih aktif atau sering dikenal
sebagai hak untuk memilih
2. Hak pilih pasif yaitu hak untuk dipilih.
Dengan demikian, sabagai salah
satu nilai demokrasi dalam pemilu ditandai dengan terwujudnya perpindahan
kekuasaan negara secara damai dan demokratis.
Mengapa menggunakan hak pilih menjadi begitu
penting bagi pemerintah? Sebabnya tidak lain adalah bahwa keterlibatan dalam
pemilu merupakan salah satu tolok ukur bagi legitimasinya. Persentase pemilih
menjadi sangat penting karena itu berarti menunjukan tingkat penerimaan rakyat
terhadap pemerintah. Menjadi wajar pula, kendati tidak memilih belum pernah
dinyatakan terlarang, tetapi dalam wacana politik orde baru dianggap sebagai
jenis pembangkangan karena dapat mengikis legitimasinya.
Konferensi Internasional Tentang Hak Asasi Manusia International Commission
of Jurist, Bangkok Tahun 1965, dirumuskan bahwa “penyelenggaraan pemilihan
umum yang bebas merupakan salah satu syarat dari enam syarat dasar bagi negara
demokrasi perwakilan di bawah “rule of law”. Selanjutnya juga dirumuskan
definisi tentang suatu pemerintahan demokrasi berdasarkan perwakilan, yaitu:
suatu bentuk pemerintahan dimana warga negara melaksanakan hak yang sama tetapi
melalui wakil-wakil yang dipilih dan bertanggung jawab kepada mereka melalui
proses pemilihan-pemilihan yang bebas.Sehingga hakikat
pemilu sesungguhnya adalah instrumen demokrasi.Sebagai alat demokrasi, pemilu
berusaha mendekati obsesi demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh, dan untuk
rakyat.
Hak untuk memilih sudah menjadi bagian dalam
hukum internasional, terdapat dalam deklarasi hak asasi universal, perjanjian
internasional dan ratifikasi di tingkat regional. Hak untuk memilih dan hak
partisipasi publik dalam pemerintahan dinyatakan dalam Pasal 21 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
sebagai berikut:
(G.
A. Res. 217A(III), U.N. Doc. A/810 (1948) [hereinafter UDHR].
1) Setiap orang berhak untuk ambil bagian dalam
pemerintahan di negaranya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang
dipilih dengan bebas.
2) Setiap orang berhak mendapat akses yang
setara dalam pelayanan publik di negaranya masing-masing.
3) Kehendak rakyat harus menjadi dasar
kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan yang
berkala dan murni dengan hak pilih setara dan universal, diselenggarakan secara
rahasia dalam pemungutan suara yang bebas dan sama.
Selain dokumen di atas, perlindungan terhadap hak
seseorang juga terdapat pada sejumlah perjanjian internasional yaitu ICESCR dan
ICCPR(10). Antara
lain, Artikel 25 point 11 menyatakan tentang hak partisipasi dalam
pemerintahan, hak suara, dan hak kesetaraan akses dalam pelayanan publik yang
telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
Setiap warga negara mempunyai hak
dan kesempatan, tanpa perbedaan sebutan dalam artikel 2 dan tanpa pembatasan
yang tak beralasan untuk:
a) Ikut ambil bagian dalam pengaturan urusan
publik, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas;
b) Memilih dan dipilih pada pemilihan umum yang
murni dan berkala, dengan hak pilih setara dan universal, diselenggarakan
secara rahasia, menjamin kebebasan para pemilih dalam menyatakan kehendaknya;
c) Mendapat akses yang setara secara umum
terhadap pelayanan publik di negaranya.
Hak untuk memilih juga dilindungi oleh beberapa
instrument hak asasi manusia di tingkat regional dan masing-masing negara,
misalnya di Afrika dengan ACHPR, di Amerika dengan ACHR, dan di Eropa dengan
ECHR.
Hak Pilih Warga
Negara Dalam Penegakkan Prinsip Kedaulatan Rakyat di Negara Indonesia dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Maunusia, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005
Tentang Ratifkasi Kovensi Hak Sipil, negara, terutama pemerintah, mempunyai
kewajiban secara konstitusional dalam pemenuhan hak asasi manusia, sebagaimana
secara tegas dimandatkan di dalam Pasal 281 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: “Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah taggung jawab negara, terutama pemerintah”;
Kewajiban
tersebut selanjutnya dipertegas lagi di dalam pasal 71 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia: “Pemerintah
wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan
hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini, peraturan
perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang
diterima oleh Negara Republik Indonesia.”
Dalam tataran
hukum internasional yang sudah diterima oleh Indonesia melalui ratifikasi,
kewajiban negara dalam pemenuhan hak sipil dan politik antara lain disebutkan
di dalam Kovensi Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, ICCPR, yang
telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Sipil dan
Politik. Adapun hak-hak sipil yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilu
dijamin dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik seperti yang
tercantum dalam Pasal 12, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 20, Pasal 25, Pasal 26, dan
Pasal 27 dengan isi seperti tercantum dalam uraian berikut:
1.
Pasal 12:
Hak atas
kebebasan bergerak dan berdomisili (termasuk meninggalkan dan kembali ke negeri
sendiri);
2.
Pasal 16:
Hak sebagai
subjek hukum (hak perdata setiap orang seperti kewarganegaraan);
3.
Pasal 18:
Hak atas
kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan (menganut ideologi atau orientasi
politik, memeluk agama dan kepercayaan);
4.
Pasal 20:
Hak untuk bebas dari
propaganda perang dan hasutan rasial (kebencian atas dasar kebangsaan, ras,
agama atau golongan);
5.
Pasal 25:
Hak untuk
berpatisipasi dalam politik (termasuk memilih, dipilih dan tidak memilih);
6.
Pasal 26:
Hak untuk bebas
dari diskriminasi dalam hukum (semua orang dilindungi hukum tanpa
diskriminasi);
7.
Pasal 27:
Hak kelompok
minoritas (perlu mendapatkan perlindungan khusus);
Prinsip hak asasi manusia yang berlaku secara
universal menjamin pemenuhan hak sipil
politik. Pasal 21 DUHAM menyatakan, bahwa pihak negara harus menjamin hak
berpatisipasi dalam pemerintahan dan pemilu serta hak atas pelayanan umum;
Setiap warga negara Indonesia dijamin haknya untuk ikut berpatisipasi secara
politik.Meski tak cukup gamblang, tetapi konstitusi menjamin hak seseorang untuk
ikut dalam memperjuangkan haknya baik dengan memilih ataupun memajukan diri
sendiri. Hal ini tercantum dalam Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, “Setiap
orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangunkan masyarakat, bangsa, dan negaranya”;
Lebih jelasnya, jaminan atas hak untuk turut serta
dalam pemerintahan dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang ini menyatakan; “Setiap warga Negara berhak untuk dipilih dan
memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara
yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”.
Sedangkan jaminan atas hak untuk dipilih secara
gamblang tercantum dalam Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; “Setiap warga negara berhak turut serta dalam
pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya,
dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan”.
Dalam ayat (3) juga disebutkan; “Setiap
warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintah”.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi
Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik juga menjamin pemenuhan hak sipil dan politik warga
negara. Pasal 25 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Sipil dan
Politik mengatakan bahwa hak yang dijamin oleh negara adalah hak untuk
berpatisipasi dalam politik, termasuk memilih, dipilih dan tidak memilih.
Salah satu landmark decision Mahkamah Konstitusi (MK) dalam konteks
pengawalan demokrasi yaitu Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 bertanggal 6 Juli 2009 yang menerobos kebuntuan hukum Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
terkait dengan permasalahan calon pemilih yang tidak terdaftar di dalam Daftar
Pemilih Tetap (DPT). Persidangan
dalam perkara ini merupakan yang tercepat dalam pengambilan putusannya
sepanjang sejarah berdirinya MK. Sidang
pertama dibuka pada hari Senin, 6 Juli 2009 Pukul 10.00 WIB untuk dilakukan
pemeriksaan selama kurang lebih 30 menit. Kemudian pada hari yang sama pada
Pukul 17.00 WIB, Majelis Hakim langsung membacakan Putusan akhirnya. Putusan
progresif ini menjadi penting maknanya karena dianggap oleh banyak pihak mampu
mencegah terjadinya degradasi proses demokrasi karena adanya desakan pengunduran
waktu Pemilu serta terbukanya kemungkinan pengunduran diri dua dari tiga
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden karena merasa tidak puas terhadap
tindakan yang dilakukan oleh KPU menghadapi karut-marutnya penyusunan DPT yang
diklaim oleh kedua pasangan tersebut sangat berpotensi merugikan perolehan
suaranya.(11) Dengan merujuk Putusan Nomor011-017/PUU-I/2003
bertanggal 24 Februari 2004, MK menegaskan bahwa hak konstitusional warga
negara untuk memilih dan dipilih (rights to vote and right to be candidate)
adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, dan konvensi
internasional, sehingga pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan
akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara. Hal tersebut secara tegas menurut MK telah
dijamin dalam Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal
28D Ayat (3), dan Pasal 28I Ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hal tersebut juga sejalan dengan Pasal 21
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 25 Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 43
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Pemilu yang mengharuskan masyarakat pemilih
menggunakan hak suaranya, sebenarnya hanya melembagakan dukungan masyarakat.
Pemilihan umum yang demikian dapat dikatakan memihak lebih kepada kepentingan
penguasa daripada kepentigan masyarakat dan menjadi sarana partisipasi politik
yang tidak utuh. Sebab kalau benar-benar ingin menjalankan prinsip demokratis
secara konsekuen seharusnya pemilihan umum lebih diorientasikan kepada
kepentingan partisipasi aktif masyarakat yang membuka peluang yang sama untuk
dukungan dan protes masyarakat, pemilihan umum yang demikian akan menjadi
sarana partisipasi politik masyarakat yang utuh, yang melembagakan sekaligus
dukungan dan protes masyarakat.
Sikap protes masyarakat dalam kehidupan demokrasi di indonesia disebut Golongan putih (golput) muncul pertama
kali tahun 1971 menjelang pemilu yang dilahirkan oleh generasi muda eksponen
angkatan 66, yang dimotori antara lain, Adnan Buyung Nasution SH, Arief
Budiman, Marsilam Simanjuntak, Asmara Nababan, Imam Waluyo, Julius Usman, dan
Husein Umar.(12)
Golput bukanlah sebuah organisasi. Golput tidak
melakukan gerakan-gerakan di luar hukum, karna salah satu tujuan dari gerakan
ini adalah menguatkan ketaatan pada hukum.
Dia melakukan protes dalam batasan-batasan hukum
yang ada, gerakan ini merupakan gerakan kultural, dalam arti yang diperjuangkan
bukanlah kekuasaan kritik melainkan suatu transisi masyarakat di mana hak asasi
selalu terlindungi dari kekuasaan sewenang-wenang.(13)
Pada umumnya orang mengartikan golput sebagai tindakan orang yang secara
sengaja dan sadar untuk tidak ikut mencoblos dalam pemilihan umum karena alasan
tidak percaya dan tidak punya calon (pilihan) yang disukai,(14) atau membuat pilihan
dengan tetap menggunakan hak pilih tapi yang dicoblos adalah bukan gambar,
tetapi bagian lain atau putihnya, artinya tidak melawan pemilu secara total
tetapi membatalkan suaranya sendiri.(15)
Bagi para pendukung Golput bisa merefleksikan banyak pesan. Oleh karena
itu, pemahaman prilaku Golput haruslah kontekstual. Artinya, menjelaskan
prilaku tidak bisa hanya didasarkan pada interpretasi sepihak para teoretis,
ilmuwan, akademisi atau bahkan peneliti, tetapi harus didasarkan pada pemahaman
dan kesadaran para pendukung Golput itu sendiri: pesan apa yang hendak
disampaikan kepada publik atas pilihan politiknya untuk tidak memilih.(16)
Karenanya menghadapi fenomena Golput yang
terjadi lebih disebabkan oleh faktor kekecewaan publik terhadap kinerja partai
politik dan pemerintah yang belum efektif, maka menjadi pembelajaran bagi
partai politik dan pemerintah untuk meningkatkan kinerjanya sebagai mesin kerja
demokrasi yang efektif dan memiliki komitmen yang kuat, mewujudkan good
public governance. Ketidakmampuan partai politik dan pemerintah menampilkan
kinerja tersebut, maka fenomena Golput akan mengkristal menjadi faktor internal
demokrasi yang potensial menimbulkan pembusukan demokrasi atau pembusukan
politik (political decay), sehingga akan berimplikasi melumpuhkan
demokrasi, dimana partai politik sebagai mesin pebangkit partisipasi politik
dalam demokrasi secara moral ikut bertanggungjawab.
Dalam mindset Golput, demokrasi di
Indonesia saat ini lebih dimaknai oleh publik, yaitu baru sebatas kebebasan
untuk mengkritik Pemerintah dan mengganti pemerintahan melalui Pemilu secara
reguler, dan belum menyentuh substansi pembangunan demokrasi di bidang politik,
ekonomi, dan sosial.
Fenomena tersebut, kiranya perlu mendapatkan
apresiasi dan solusi oleh para aktor-aktor pemerintahan (Penyelenggara Negara) menghadapi
Pemilu tahun ke tahun agar pesta demokrasi lebih efisien dan berkualitas secara
sistemik, baik dalam tataran input, process, dan output, dan
malah bukan bersifat kontra produktif dalam berdemokrasi. Dalam arti proses
demokrasi malah menurunkan tingkat partisipasi politik pemilih di satu sisi,
dan di sisi lain malah makin meningkatnya jumlah Golput yang berimplikasi
negatif bagi pembangunan kualitas demokrasi.
Dengan
minimal empat faktor di mana orang enggan untuk aktif berperan dalam pemilu
menurut Syamsuddin Haris:
1.
Kekecewaan
sebagian publik terhadap parpol;
2.
Parpol
sebagian kaya akibat money politik;
3.
KPU dan
pengawas di daerah minim melibatkan civil society;
4.
Sistem pemilu yang rumit.
Keputusan seseorang untuk menjadi golput pada dasarnya diambil setelah
mengkaji berbagai alasan yang ada. Bagi masyarakat, buat apa memilih jika
parpol tidak memberikan kepuasan. Dan, buat apa menyalurkan hak pilih bila
pemilu dinilai tidak bermakna bagi mereka. Artinya, kekuatan politik di DPR
tidak bisa mewakili aspirasi mereka. Alasan ini seharusnya dapat dijadikan
suatu pemikiran oleh wakil rakyat atau elite politik agar ke depan tidak
mengecewakan rakyat. Masalahnya adalah bagaimana para elite politik negeri ini
mampu meyakinkan masyarakat bahwa lembaga perwakilan rakyat bisa berperan
secara jujur dan wajar dalam upaya menyuarakan kepentingan rakyat.(17)
Konteks Golput dalam perspektif pembangunan
demokrasi di Indonesia tersebut diatas, dapat diintisarikan sebagai berikut:
1) Partisipasi
politik merupakan salah satu tujuan pembangunan, termasukpembangunan demokrasi
(pembangunan politik) agar sistem politik dapat berjalan secara efektif.
2) Partisipasi
politik juga menjadi indikator utama bagi tingkat keberhasilan penyelenggaraan
Pemilu yang demokratis dalam Negara demokrasi modern.
3) Seiring
dengan sikap partisipatif pemilih yang menggunakan hak pilihnya, sikap Golput
yang tidak partisipatif dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemungutan suara,
juga menjadi indikator tingkat keberhasilan Pemilu yang demokratis.
4) Fenomena
golput muncul antara lain karena faktor politik dan sosial ekonomi, seperti
kekecewaan politik dan sosial ekonomi terhadap hasil Pemilu yang belum mampu
mewujudkan perilaku kehidupan politik yang berkualitas dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
5) Golput
yang eskalatif dan signifikan secara potensial merupakan ancaman bagi proses
demokratisasi, yang jika tidak mampu diatasi dengan kinerja Pemerintah yang
amanah berbasis good public government dan keteladanan sikap serta
perilaku yang bermartabat, dapat berimplikasi negatif melumpuhkan demokrasi.(18)
Golput
terdiri atas dua genre: golput politis dan golput teknis. Terhadap mereka yang
golput karena pilihan politik, karena menganggap pemilu tidak berguna, hanya
memboroskan anggaran negara, sekadar sarana bagi partai politik dan calon
legislator untuk menyampaikan janji-janji kosong yang langsung dilupakan ketika
telah melenggang ke kursi parlemen. Di negeri ini, menggunakan hak memilih (casting
vote) masih dikonstruksikan sebagai sekadar hak, belum menjadi kewajiban
sebagaimana halnya di Australia. Namun, bagi yang golput karena soal teknis
administratif, yaitu tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), soal ini
harus dicari akar masalah dan solusinya.
PRINSIP KEDAULATAN NEGARA
Kedaulatan rakyat lahir sebagai reaksi atas kedaulatan raja yang
menghasilkan tirani dan kesengsaraan bagi rakyat. Menurut
Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social:
“Manusia
itu lahir bebas dan sederajat dalam hak-haknya, sedangkan hukum merupakan
ekspresi dan kehendak umum (rakyat)”munculnya negara bukanlah berdiri sendiri, melainkan karena adanya kemauan
bersama dari rakyat untuk membentuk suatu negara tanpa ada paksaan. Posisi
rakyat benar-benar dihargai sehingga kekuasaan legislatif harus berada di
tangan rakyat dan kekuasaan eksekutif bergantung pada kemauan bersama atau
rakyat.(19) Tiap individu mempunyai
fungsi, sebagai anggota dari rakyat berdaulat ia berkewajiban terhadap semua
anggota dan kedaulatan secara
keseluruhan.
Dengan kata lain, kedaulatan bisa tumbuh jika
dalam suatu negara rakyat memainkan peran aktif. Kekuasaan rakyat sebagai yang
tertinggi, dalam hal ini diwujudkan melalui lembaga perwakilan, melalui suara
terbanyak. Sebab menurut Rousseau, keputusan dari suara terbanyak (mayoritas)
selalu mewakili kepentingan umum.(20)
Salah satu peran aktif rakyat yang menjadi
perwujudan kedaulatan rakyat itu adalah jika rakyat aktif dalam pemilu. Sebagai
salah satu hak universal yang diakui, hak untuk memilih dan dipilih (hak aktif, dan hak pasif) sudah
merupakan dokumen internasional. Ini terjadi sejak pertengahan abad ke-20 dan
berlangsung terus sampai kini. Deklarasi tersebut menimbulkan implikasi, salah
satunya adalah rakyat harus menjadi dasar bagi kekuasaan pemerintah. Dalam
negara demokratis, pemilu secara berkala adalah cara paling penting dan
menunjukan legitimasi bagi pemegang kekuasaan. Kehendak tersebut diwujudkan
melaui pemilu secara berkala dengan hak pilih yang universal dan sama,
diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu yang netral.
Setelah terjadi amandemen konstitusi, maka kini
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Apa dan siapakah yang dimaksud dengan rakyat yang
berdaulat itu? Secara nominal sebagaimana yang dimaksud dalam konstitusi,
rakyat berdaulat adalah setiap warga negara, mulai dari bayi sampai kakek/
nenek apapun latar belakang suku, agama, jenis kelamin, dan kondisi fisik.
Namun, dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemilu,
pengertian rakyat berdaulat dibatasi pada warga negara yang berhak memilih.
Secara rinci, warga negara yang berhak memilih di
indonesia adalah; Warga Negara Indonesia, sudah berusia 17 tahun, atau, sudah
pernah kawin, tidak hilang ingatan, dan hak pilihnya tidak sedang dicabut oleh
pengadilan. Persyaratan umur untuk berhak memilih pada masing-masing negara
bervariasi mulai umur 17-21 tahun. Hak pilih yang ada pada individu tidak dapat
dikurangi atau dipindahkan pada individu lain. Pada hak pilih inilah terkait
mutu demokrasi. Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar pemilu diselenggarakan berlandaskan
asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Jadi kesimpulannya sebagaimana analistis yang telah diuraikan bahwa Hak Pilih Warga Negara Indonesia sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan berdasarkan hirearkinya masing-masing antara lain: UUD RI 1945, UU, Putusan Mahkamah Konstitusi dan Peraturan KPU.
SUMBER
1. Syamsuddin Haris dkk, 1998,Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta:
(Yayasan Obor Indonesia), hal. 49.
2. Saripudin Bebyl, 2003, Tata Negara,Bandung: (Gramedia Pustaka Utama), hal. 32.
3. Saripudin Bebyl, 2003, Tata Negara,Bandung: (Gramedia Pustaka Utama), hal. 136.
4. Miriam Budiardjo,2002,Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: (PT Gramedia Pustaka
Utama, Cetakan kedua puluh dua), hal. 52.
5. KOMNAS HAM, 2009, Laporan Tim Penyelidikan Pemenuhan Hak Sipil dan Hak
Politik Dalam Pemilu Legislatif: Beetham, David, 1999, Democracy and Human
Rights,London:Polity Press.
6. KOMNAS HAM, 2009,Laporan Tim Penyelidikan
Pemenuhan Hak Sipil dan Hak
Politik Dalam Pemilu Legislatif
7.Suaib Eka. 2010. Problematika
Pemutakhiran Data Pemilih Di Indonesia.Katz
1997.
Depok: Koekoesan
8. IDEA, 2002, Standar –standar Internasional Untuk Pemilihan Umum Pedoman
Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu, Seri Buku Panduan.
9. Suaib, Eka, 2010, Problematika Pemutakhiran Data Pemilih Di
Indonesia, Depok ,Koekoesan, hal. 20.
10. Komnas HAM, 2009; Beetham, 1999.
11. "MK Putuskan Pasal DPT
Pemilihan Presiden Sore Ini”, Senin, 6 Juli
2009,http://www.tempointeraktif.com/hg/Pemilu2009_presiden/2009/07/06/brk,20090706185409.id.html
diaksespadatanggal 6 Desember 2009.
12. Peter Lewuk & M. Abriyanto, 1992. Aneka
Pandangan Fenomena Politik, Cetakan I,
Pustaka Sinar Harapan.
13. Arbi Sanit, 1992, Golongan
Putih Sebagai Gerakan Protes, Dalam Pengantar Buku Aneka Pandangan Fenomena Politik,
Cetakan I, Pustaka Sinar Harapan.
14. Muntoha, Dalam Seminar
2009 “Menyikapi Fatwa Haram Golput: Urgensi
Memperkuat Fatwa MUI”, yang diselenggarakan oleh Keluarga
Muslim Fakultas Hukum
(KMFH)-UGM, pada hari: Kamis, 14 Mei.
15. Muntoha, Dalam Seminar
2009 “Menyikapi Fatwa Haram Golput: Urgensi
Memperkuat Fatwa MUI”, yang diselenggarakan oleh Keluarga
Muslim Fakultas Hukum
(KMFH)-UGM, pada hari: Kamis, 14 Mei.
16. Protes Terhadap System Politik, Muhammad Asfar, Dalam Buku “Presiden Golput”,
Surabaya: Jawa Pos Press, hlm.127.
17. Haris Syamsuddin, 2004, Dalam Pengantar Seri Diskusi
Publik Propatria, Tanggal 4
Februari, Jakarta
18. H. Soebagio, 2008, Implikasi Golongan Putih Dalam Perspektif Pembangunan
Demokrasi Di Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas Islam Syekh Yusuf,
Tangerang 15118, Indonesia, Makara, Sosial Humaniora, Vol. 12, No. 2, Desember
2008: 82-86.
19. Noer,
Deliar, 1982, Pemikiran Politik di Negeri Barat,Jakarta: Mizan.
20. Noer, Deliar, 1982, Pemikiran Politik di Negeri Barat,Jakarta: Mizan.
Komentar
Posting Komentar